Rabu, 23 September 2009

Rayuan Setan Dalam Pacaran

Para pembaca yang budiman, ketika seseorang beranjak dewasa, muncullah benih di dalam jiwa untuk mencintai lawan jenisnya. Ini merupakan fitrah (insting) yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan terhadap perkara yang dinginkannya berupa wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenagan hidup di dunia. Dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali Imran: 14)

Adab Bergaul Antara Lawan Jenis

Islam adalah agama yang sempurna, di dalamnya diatur seluk-beluk kehidupan manusia, bagaimana pergaulan antara lawan jenis. Di antara adab bergaul antara lawan jenis sebagaimana yang telah diajarkan oleh agama kita adalah:

1. Menundukkan pandangan terhadap lawan jenis

Allah berfirman yang artinya, “Katakanlah kepada laki-laki beriman: Hendahlah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. an-Nur: 30). Allah juga berfirman yang artinya,”Dan katakalah kepada wanita beriman: Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. an-Nur: 31)

2. Tidak berdua-duaan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan (kholwat) dengan wanita kecuali bersama mahromnya.” (HR. Bukhari & Muslim)

3. Tidak menyentuh lawan jenis

Di dalam sebuah hadits, Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Demi Allah, tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun saat membaiat (janji setia kepada pemimpin).” (HR. Bukhari). Hal ini karena menyentuh lawan jenis yang bukan mahromnya merupakan salah satu perkara yang diharamkan di dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, (itu) masih lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Thabrani dengan sanad hasan)

Jika memandang saja terlarang, tentu bersentuhan lebih terlarang karena godaannya tentu jauh lebih besar.

Salah Kaprah Dalam Bercinta

Tatkala adab-adab bergaul antara lawan jenis mulai pudar, luapan cinta yang bergolak dalam hati manusia pun menjadi tidak terkontrol lagi. Akhirnya, setan berhasil menjerat para remaja dalam ikatan maut yang dikenal dengan “pacaran“. Allah telah mengharamkan berbagai aktifitas yang dapat mengantarkan ke dalam perzinaan. Sebagaimana Allah berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesugguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. al-Isra’: 32). Lalu pintu apakah yang paling lebar dan paling dekat dengan ruang perzinaan melebihi pintu pacaran?!!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menetapkan untuk anak adam bagiannya dari zina, yang pasti akan mengenainya. Zina mata adalah dengan memandang, zina lisan adalah dengan berbicara, sedangkan jiwa berkeinginan dan berangan-angan, lalu farji (kemaluan) yang akan membenarkan atau mendustakannya.” (HR. Bukhari & Muslim). Kalaulah kita ibaratkan zina adalah sebuah ruangan yang memiliki banyak pintu yang berlapis-lapis, maka orang yang berpacaran adalah orang yang telah memiliki semua kuncinya. Kapan saja ia bisa masuk. Bukankah saat berpacaran ia tidak lepas dari zina mata dengan bebas memandang? Bukankah dengan pacaran ia sering melembut-lembutkan suara di hadapan pacarnya? Bukankah orang yang berpacaran senantiasa memikirkan dan membayangkan keadaan pacarnya? Maka farjinya pun akan segera mengikutinya. Akhirnya penyesalan tinggallah penyesalan. Waktu tidaklah bisa dirayu untuk bisa kembali sehingga dirinya menjadi sosok yang masih suci dan belum ternodai. Setan pun bergembira atas keberhasilan usahanya….

Iblis, Sang Penyesat Ulung

Tentunya akan sulit bagi Iblis dan bala tentaranya untuk menggelincirkan sebagian orang sampai terjatuh ke dalam jurang pacaran gaya cipika-cipiki atau yang semodel dengan itu. Akan tetapi yang perlu kita ingat, bahwasanya Iblis telah bersumpah di hadapan Allah untuk menyesatkan semua manusia. Iblis berkata, “Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS. Shaad: 82). Termasuk di antara alat yang digunakan Iblis untuk menyesatkan manusia adalah wanita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah (ujian) yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada wanita.” (HR. Bukhari & Muslim). Kalaulah Iblis tidak berhasil merusak agama seseorang dengan menjerumuskan mereka ke dalam gaya pacaran cipika-cipiki, mungkin cukuplah bagi Iblis untuk bisa tertawa dengan membuat mereka berpacaran lewat telepon, SMS atau yang lainnya. Yang cukup menyedihkan, terkadang gaya pacaran seperti ini dibungkus dengan agama seperti dengan pura-pura bertanya tentang masalah agama kepada lawan jenisnya, miss called atau SMS pacarnya untuk bangun shalat tahajud dan lain-lain.

Ringkasnya sms-an dengan lawan jenis, bukan saudara dan bukan karena kebutuhan mendesak adalah haram dengan beberapa alasan: (a) ini adalah semi berdua-duaan, (b) buang-buang pulsa, dan (c) ini adalah jalan menuju perkara yang haram. Mudah-mudahan Allah memudahkan kita semua untuk menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya.

***

Penulis: Ibnu Sutopo Yuono
Artikel www.muslim.or.id

Kamis, 17 September 2009


Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

Salah satu dari pintu-pintu kebaikan adalah melakukan puasa-puasa sunnah. Sebagaimana yang disabdakan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam: “Maukah aku tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan?; Puasa adalah perisai, …” (Hadits hasan shohih, riwayat Tirmidzi). Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api neraka. Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan, “Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhori: 6502)

Puasa Seperti Setahun Penuh

Salah satu puasa yang dianjurkan/disunnahkan setelah berpuasa di bulan Romadhon adalah puasa enam hari di bulan Syawal. Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rosululloh bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Romadhon kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164). Dari Tsauban, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Iedul Fitri, maka seperti berpuasa setahun penuh. Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh lipatnya.” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil). Imam Nawawi rohimahulloh mengatakan dalam Syarh Shohih Muslim 8/138, “Dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas bagi madzhab Syafi’i, Ahmad, Dawud beserta ulama yang sependapat dengannya yaitu puasa enam hari di bulan Syawal adalah suatu hal yang dianjurkan.”

Dilakukan Setelah Iedul Fithri

Puasa Syawal dilakukan setelah Iedul Fithri, tidak boleh dilakukan di hari raya Iedul Fithri. Hal ini berdasarkan larangan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Umar bin Khothob, beliau berkata, “Ini adalah dua hari raya yang Rosululloh melarang berpuasa di hari tersebut: Hari raya Iedul Fithri setelah kalian berpuasa dan hari lainnya tatkala kalian makan daging korban kalian (Iedul Adha).” (Muttafaq ‘alaih)

Apakah Harus Berurutan ?

Imam Nawawi rohimahulloh menjawab dalam Syarh Shohih Muslim 8/328: “Afdholnya (lebih utama) adalah berpuasa enam hari berturut-turut langsung setelah Iedul Fithri. Namun jika ada orang yang berpuasa Syawal dengan tidak berturut-turut atau berpuasa di akhir-akhir bulan, maka dia masih mendapatkan keuatamaan puasa Syawal berdasarkan konteks hadits ini”. Inilah pendapat yang benar. Jadi, boleh berpuasa secara berturut-turut atau tidak, baik di awal, di tengah, maupun di akhir bulan Syawal. Sekalipun yang lebih utama adalah bersegera melakukannya berdasarkan dalil-dalil yang berisi tentang anjuran bersegera dalam beramal sholih. Sebagaimana Allah berfirman, “Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (Al Maidah: 48). Dan juga dalam hadits tersebut terdapat lafadz ba’da fithri (setelah hari raya Iedul Fithri), yang menunjukkan selang waktu yang tidak lama.

Mendahulukan Puasa Qodho’

Apabila seseorang mempunyai tanggungan puasa (qodho’) sedangkan ia ingin berpuasa Syawal juga, manakah yang didahulukan? Pendapat yang benar adalah mendahulukan puasa qodho’. Sebab mendahulukan sesuatu yang wajib daripada sunnah itu lebih melepaskan diri dari beban kewajiban. Ibnu Rojab rohimahulloh berkata dalam Lathiiful Ma’arif, “Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa Romadhon, hendaklah ia mendahulukan qodho’nya terlebih dahulu karena hal tersebut lebih melepaskan dirinya dari beban kewajiban dan hal itu (qodho’) lebih baik daripada puasa sunnah Syawal”. Pendapat ini juga disetujui oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Mumthi’. Pendapat ini sesuai dengan makna eksplisit hadits Abu Ayyub di atas.

Semoga kebahagiaan selalu mengiringi orang-orang yang menghidupkan sunnah Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Wallohu a’lam bish showab.

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Selasa, 23 Juni 2009

ISTANA YANG HILANG KARENA KESIBUKAN

Termasuk rahmat Alloh Ta’ala kepada para hamba-Nya adalah Dia mensyariatkan ibadah-ibadah sunnah untuk menyempurnakan ibadah wajib. Maka di dalam syariat ada shalat wajib ada juga sholat sunnah, ada puasa wajib ada juga puasa sunnah, ada shadaqah wajib (zakat) ada juga shadaqah sunnah dan yang lainnya agar hamba-hamba Alloh ini senantiasa bertaqarrub (mendekat) kepada-Nya sehingga imannya selalu bertambah.
Rasulullah ‘Alaihis Shalatu Wassalam bersabda :
“Sesungguhnya amal manusia yang pertama kali dihisab (diperhitungkan) pada hari kiamat adalah shalat”. Beliau melanjutkan,’Sesungguhnya Alloh berfirman kepada para malaikat-Nya –dan Dia lebih mengetahui- ,’Lihatlah shalat hamba-Ku, apakah ia menyempurnakannya atau kurang? Jika shalatnya sempurna, maka dicatat sempurna untuknya dan jika kurang sesuatu darinya, maka Dia berfirman,’Lihatlah apakah hambaku memiliki shalat sunnah? Jika ia memiliki shalat sunnah, maka Dia berfirman,’ Sempurnakanlah shalat fardhu hamba-Ku dengan shalat sunnahnya. Kemudian amalan-amalan lainnya diperlakukan demikian.” (HR. Ahmad 2/290; Abu Dawud 864 dan dishahihkan Imam Al-Albani )
Dan ibadah sunnah yang banyak disepelekan kaum muslimin – kecuali mereka yang dirahmati Alloh – adalah shalat sunnah rawatib.

Makna Shalat Sunnah Rawatib
Shalat sunnah rawatib adalah shalat sunnah yang mengiringi shalat wajib, baik dikerjakan sebelum shalat wajib (shalat sunnah qabliyah) atau setelahnya (shalat sunnah ba’diyah).

Jumlah Rakaatnya
Shalat sunnah rawatib sehari semalam yang muakkadah (ditekankan untuk dikerjakan) berjumlah 12 rakaat dengan perincian sbb :
2 rokaat sebelum shubuh, 4 rokaat sebelum dzuhur & 2 rokaat setelahnya, 2 rokaat setelah maghrib, dan 2 rokaat setelah isya’.
Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah, ia berkata. Rasulullah ‘Alaihis Shalatu Wassalam bersabda :
“Barangsiapa yang tekun mengerjakan 12 rakaat shalat sunnah (rawatib), maka Alloh akan membangunkan untuknya istana di surga: 4 rokaat sebelum dzuhur & 2 rokaat sesudahnya, 2 rokaat sesudah maghrib, 2 rokaat sesudah isya’ dan 2 rokaat sebelum fajar (shubuh)”. (HR. Tirmidzi 414 ; An-Nasa’I 1794 dan dishahihkan Al-Albani)
Dan dibolehkan juga mengerjakannya 10 rakaat seperti rincian di atas, hanya saja sebelum dzuhur dikerjakan 2 rokaat, berdasarkan hadits Ibnu Umar, ia berkata :
“Aku hapal dari Nabi ‘Alaihis Shalatu Wassalam 10 rakaat : 2 rokaat sebelum dzuhur & 2 rokaat sesudahnya, 2 rokaat sesudah maghrib di rumahnya, 2 rokaat sesudah isya’ di rumahnya, dan 2 rokaat sebelum shalat shubuh”. (HR. Al-Bukhari 1180)
Yang lebih utama mengerjakannya 12 rakaat sebagaimana yang dinyatakan Imam Nawawi dan ulama lainnya.

Keutamaannya
Ummu Habibah mengatakan,’ Aku mendengar Rasulullah ‘Alaihis Shalatu Wassalam bersabda :
مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَ لَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ
“Barang siapa yang shalat 12 rakaat dalam sehari semalam, maka dibangunkan untuknya sebuah istana di surga”. (HR. Muslim 728).
Bagaimana sikap salafus shalih mendengar hadits ini ? Simaklah pernyataan mereka, semoga kita bisa menirunya.
Ummu Habibah mengatakan,” Aku tidak pernah meninggalkannya sejak aku mendengarnya dari Nabi ‘Alaihis Shalatu Wassalam”.
Anbasah mengatakan,” Aku tidak pernah meninggalkannya sejak aku mendengarkannya dari Ummu Habibah”.
Amr bin Aus mengatakan,” Aku tidak pernah meninggalkannya sejak aku mendengarkannya dari Anbasah”.
An-Nu’man bin Salim mengatakan,” Aku tidak pernah meninggalkannya sejak aku mendengarkannya dari Amr bin Aus”.
Bagaimana dengan kita setelah mendengar hadits ini ?
Shalat Sunnah Rawatib yang paling Muakkad (ditekankan)
Sunnah rawatib yang paling ditekankan adalah 2 rakaat fajar (sebelum shalat shubuh).
Rasulullah Alaihis Shalatu Wassalam bersabda :
“Dua rakaat fajar lebih baik dibandingkan dunia berikut segala isinya”. Dalam suatu riwayat : “Sungguh keduanya lebih aku cintai dibandingkan seluruh dunia”. (HR. Muslim 725)
Imam Nawawi berkata : “Dalam hadits ini terdapat dalil atas keutamaannya yang agung”.
Oleh karena itu Rasulullah tidak pernah meninggalkannya meskipun ketika dalam keadaan safar.
Dan surat yang beliau baca setelah membaca Al-Fatihah adalah surat Al-Kafirun di rakaat pertama dan surat Al-Ikhlas di rakaat kedua.
Dari Abu Hurairah berkata :
“Bahwa Rasulullah membaca pada dua rakaat fajar : Qul ya ayyuhal kafiruun dan Qul huwallahu ahad.” (HR. Muslim 726)
Dan kadang beliau membaca pada dua rakaat fajar surat Al-Baqarah: 136 dan surat Ali Imran : 64 (HR. Muslim 727)

Apakah Sebelum Shalat Ashar ada rawatibnya ?
Jumhur ulama berpendapat bahwa sebelum shalat ashar tidak ada shalat rawatib, sebagaimana dinyatakan Ibnu Rajab dalam kitabnya fathul bari (3/536). Akan tetapi diperbolehkan seseorang melaksanakan shalat sunnah sebelum shalat ashar, berdasarkan hadits Ibnu Umar, ia mengatakan,” Rasulullah Alaihis Shalatu Wassalam bersabda :
“Semoga Alloh merahmati seseorang yang shalat empat rakaat sebelum ashar.” (HR. Ahmad 2/117 ; Abu Dawud 1271 ; Tirmidzi 1271 ; Ibnu Khuzaimah 2/206 dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Al-Albani)
Dan dibolehkan mengerjakan shalat sunnah sebelum melaksanakan shalat wajib 5 waktu, berdasarkan keumuman hadits yang membolehkannya.
Rasulullah Alaihis Shalatu Wassalam bersabda :
“Di antara tiap-tiap adzan dan iqamat terdapat shalat (sunnah), diantara tiap-tiap adzan dan iqamah terdapat shalat. Kemudian beliau mengatakan pada ketiga kalinya,”Bagi siapa yang suka”. (Muttafaq ‘Alaih).
Berdasarkan hadits di atas maka dibolehkan mengerjakan sholat sunnah sebelum ashar, sebelum maghrib dan sebelum isya’. Akan tetapi tidak boleh meyakini bahwa shalat tersebut biasa dikerjakan oleh Nabi sebagaimana beliau mengerjakan yang 12 rokaat rawatib .

Apakah Ada Shalat Rawatib Qabliyah Jum’at ?
Tidak ada shalat qabliyah jumat, yaitu shalat sunnah yang dikerjakan setelah masuknya waktu (setelah adzan) di hari jumat, karena Nabi keluar dari rumahnya dan masuk masjid lalu langsung naik mimbar untuk berkhutbah. Akan tetapi apabila seorang muslim masuk masjid belum masuk waktu dan khatib belum naik mimbar maka diperbolehkan mengerjakan shalat sunnah mutlak semampunya atau sering juga disebut sholat sunnah intidhar (Sholat sunnah menunggu dimulainya khutbah jumat).
Rasulullah Alaihis Shalatu Wassalam bersabda :
“Tidaklah seseorang mandi pada hari jumat, bersuci semampunya, memakai minyak atau memakai wewangian yang terdapat di rumahnya, kemudian keluar, lalu tidak melangkahi di antara dua orang, kemudian mengerjakan sholat yang ditetapkan untuknya, kemudian diam ketika imam berkhutbah, melainkan Alloh mengampuni dosanya yang ada di antara jumat ini dengan jumat berikutnya.” (HR. Al-Bukhari 883)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahulloh mengatakan,” Dalam hadits ini disyariatkan shalat sunnah sebelum jumat, berdasarkan sabda beliau :
… kemudian ia mengerjakan shalat yang ditetapkan untuknya… Lalu beliau bersabda : Kemudian diam jika imam telah mulai berkhutbah … Ini sebagai dalil bahwa shalat tersebut dikerjakan sebelum khutbah jumat (dimulai)… (Fathul Bari 2/433)
Dan bila imam telah naik mimbar untuk memulai khutbahnya maka tidak ada yang boleh dikerjakan selain mendengar khutbah, kecuali bagi orang yang terlambat maka dia diperintahkan untuk mengerjakan shalat tahiyatul masjid 2 rakaat sebelum duduk, sebagaimana ini diterangkan dalam hadits yang shahih.

Shalat Sunnah Rawatib di saat Safar
Tidak disyariatkan mengerjakan shalat sunnah rawatib ketika safar kecuali dua rakaat sebelum shubuh, karena Rasulullah tidak pernah melakukan shalat rawatib di kala safar kecuali beliau hanya mengerjakan shalat sunnah fajar, sebagaimana diterangkan dalam hadits yang shahih (HR. Muslim 689).
Bagaimana bisa seseorang mengerjakan shalat sunnah rawatib ketika safar, sedangkan shalat yang wajib saja diperintahkan untuk diqashar (yakni yang empat rakaat menjadi dua rakaat).

Apakah Rawatib boleh diqadha
Bila seseorang luput tidak dapat mengerjakan shalat rawatib karena adanya udzur, maka dibolehkan mengqadhanya. Karena Rasulullah juga pernah mengqadha shalat rawatib, seperti rawatib shubuh (dikerjakan setelah matahari terbit), rawatib dzuhur (dikerjakan di waktu ashar) dll karena adanya udzur. (Lihat HR. Muslim 680)
Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Yang shahih menurut (madzab) kami (yakni Syafi’iyyah), dianjurkan mengqadha shalat-shalat sunnah rawatib”. (Al-Majmu’ 3/368)

Menyatukan niat Rawatib dengan niat shalat sunnah lainnya
Dibolehkan meniatkan rawatib dengan niat shalat tahiyatul masjid, shalat sunnah wudhu, dan shalat sunnah istikharah.
Imam Nawawi mengatakan ,”Para sahabat kami mengatakan,”Demikian pula seandainya seseorang berniat shalat fardhu dan shalat tahiyatul masjid, atau sunnah rawatib dan tahiyatul masjid, maka keduanya diperoleh dengan tanpa adanya perbedaan pendapat”. (Al-Majmu’ 3/375)
Beliau juga mengatakan di tempat lain : “zhahirnya bahwa shalat istikharah dapat diperoleh dengan dua rakaat dari sunnah-sunnah rawatib”. (Al-Adzkar 151)

Shalat sunnah ketika Iqamat dikumandangkan
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Alaihis Shalatu Wassalam bersabda :
“Jika shalat sudah diiqamatkan maka tidak ada shalat lagi kecuali shalat fardhu”. (HR. Muslim).
Imam Nawawi berkata : “Dalam hadits ini terdapat larangan yang tegas untuk memulai shalat sunnah setelah iqamat (dikumandangkan), baik rawatib, seperti sunnah shubuh, dzuhur, ashar, maupun yang lainnya”. (Al-Majmu’ 3/378).
Oleh karena itu jika seseorang sedang shalat sunnah dan iqamat dikumandangkan, maka bila dia di rakaat pertama, hendaknya dia batalkan shalatnya dan segera masuk shaf untuk ikut shalat berjamaah, tetapi bila dia sudah di rakaat kedua hendaknya diteruskan dengan cepat, agar tidak ketinggalan takbiratul ihram imam. Hal ini sebagaimana difatwakan syaik Ibnu Baz dan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumalloh.

Memisah antara shalat fardhu dan Shalat Sunnah
Dari Mu’awiyah, ia mengatakan:
“Rasulullah memerintahkan kami agar satu shalat tidak disambung dengan shalat lainnya, hingga kami berbicara atau kami keluar”. (HR. Muslim 883)
Imam Nawawi berkata : “Hadits ini berisi dalil tentang pendapat para sahabat kami (Syafi’iyyah) bahwa sunnah rawatib dan selainnya dianjurkan untuk dipindahkan tempatnya dari tempat pelaksanaan shalat fardhu ke tempat lainnya, dan yang lebih utama ialah berpindah ke rumahnya. Jika tidak maka di tempat lainnya dari masjid tersebut atau selainnya untuk memperbanyak tempat sujudnya, dan agar bentuk shalat sunnah terpisah dari shalat fardhu. Perkataan perawi (Mua’wiyah): “Hingga kami berbicara,’adalah dalil bahwa memisahkan diantara keduanya juga bisa diperoleh dengan berbicara. Tetapi dengan berpindah adalah lebih baik berdasarkan apa yang telah kami sebutkan”. (Syarh shahih Muslim, Imam Nawawi 6/170-171)

Idamkan Istana Surga
Bila di dunia tidak memiliki rumah, maka alangkah sedihnya kita. Tapi bila di akhirat kita tidak memiliki tempat tinggal, alangkah sengsaranya kita.
Kenapa kita dapat bersusah payah bekerja untuk membeli rumah di dunia meskipun dengan kredit, tapi untuk mempersiapkan istana di surga tak pernah terpikirkan.
Janganlah karena kesibukan, istana surga hilang tak pernah lagi didapatkan.
12 rakaat rawatib menanti kita untuk dikerjakan.


Maraji’ : Shahih Fiqh As-Sunnah juz I Oleh Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim.
Dll.

Sumber : http://www.abunakhla.blogspot.com/

Kamis, 18 Juni 2009

Info Pesantren Kilat pelajar SMU/SMK se-Pekalongan & Sekitarnya

Bingung Ngisi Liburan ?

Ikut aja nggabung bersama kami dalam Pesantren Kilat Pertemuan AKBAR antar pelajar se-Pekalongan.Insya Allah tanggal 27-28 Juni 2009.

pendaftaran santri hanya terbatas untuk 50 peserta saja.

Dalam hadits di sebutkan "jika Allah menghendaki baik seseorang,maka akan dipahamkanya dalam urusan Agama" Nah,,, jadilah manusia yang dimaksud hadits ini.

Rabu, 17 Juni 2009

STRUKTUR PENGURUS REMAJA MASJID AL-HIDAYAH

Ketua : Ibnu Thohani
Wakil : Ghani

Sekretaris : Faris
Bendahara : Hilmi

Sie. Humas : Bagus
Sie. Dakwah : Musa